Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Blogger Template Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Jumat, 22 Oktober 2010

Dosa-Dosa Yang Dianggap Biasa (Ghibah/Menggunjing)


oleh : Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid

Dalam banyak pertemuan di majlis, seringkali yang dijadikan hidangannya adalah menggunjing umat Islam. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang hal tersebut, dan menyeru agar segenap hamba menjauhinya. Allah menggambarkan dan mengidentikkan ghibah dengan sesuatu yang amat kotor dan menjijikkan. Allah berfirman :

“Artinya : Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati ? Maka tentulah kamu merasa jijik dengannya”. (Al-Hujurat: 12)

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan makna ghibah (menggunjing) dalam sabdanya :

“Artinya : Tahukah kalian apakah ghibah itu ? “Mereka menjawab : “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui. “Beliau bersabda :”Yaitu engkau menyebut saudaramu dengan sesuatu yang dibencinya.” Ditanyakan : “Bagaimana halnya jika apa yang aku katakan itu (memang) terdapat pada saudaraku ? “Beliau menjawab : “Jika apa yang kamu katakan terdapat pada saudaramu, maka engkau telah menggunjingnya (melakukan ghibah) dan jika ia tidak terdapat padanya maka engkau telah berdusta atasnya”. (Hadits Riwayat Muslim, 4/2001)

Jadi, ghibah adalah menyebutkan sesuatu yang terdapat pada diri seorang muslim, sedang ia tidak suka (jika hal itu disebutkan). Baik dalam keadaan soal jasmaninya, agamanya, kekayaannya, hatinya, ahlaknya, bentuk lahiriyahnya dan sebagainya. Caranya-pun bermacam-macam. Di antaranya dengan membeberkan aib, menirukan tingkah laku atau gerak tertentu dari orang yang dipergunjingkan dengan maksud mengolok-ngolok.

Banyak orang meremehkan masalah ghibah, padahal dalam pandangan Allah ia adalah sesuatu yang keji dan kotor. Hal itu dijelaskan dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Riba itu ada tujuh puluh dua pintu, yang paling ringan daripadanya sama dengan seorang laki-laki yang menyetubuhi ibunya (sendiri), dan riba yang paling berat adalah pergunjingan seorang laki-laki atas kehormatan saudaranya”. (As-Silsilah As-Shahihah, 1871)

Wajib bagi orang yang hadir dalam majlis yang sedang menggunjing orang lain, untuk mencegah kemungkaran dan membela saudaranya yang dipergunjingkan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam amat menganjurkan hal demikian, sebagaimana dalam sabdanya.

“Artinya : Barangsiapa menolak (ghibah atas) kehormatan saudaranya, niscaya pada hari kiamat Allah akan menolak menghindarkan api Neraka dari wajahnya”. (Hadits Riwayat Ahmad, 6/450, hahihul Jami’. 6238)

Adab – adab Berdoa

Adab-Adab Berdoa

Allah Ta’ala berfirman:

إِذْ نَادَى رَبَّهُ نِدَاء خَفِيًّا

“Yaitu tatkala ia berdoa kepada Tuhannya dengan suara yang lembut.” (QS. Maryam: 3)

Allah Ta’ala berfirman:

ادْعُواْ رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ

(Q“Berdoalah kepada Rabb kalian dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-A’raf: 55)

Dari Aisyah -radhiallahu ‘anha- dia berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَحِبُّ الْجَوَامِعَ مِنْ الدُّعَاءِ وَيَدَعُ مَا سِوَى ذَلِكَ

“Rasulullah -shallallahu wa’alaihi wa sallam- menyukai doa-doa yang singkat tapi padat maknanya, dan meninggalkan selain itu.” (HR. Abu Daud no. 1482 dan An-Nawawi berkata dalam Riyadh Ash-Shalihin no. 431, “Sanadnya baik.”)

Dari Jabir bin Abdillah  dia berkata: Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:

لَا تَدْعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ وَلَا تَدْعُوا عَلَى أَوْلَادِكُمْ وَلَا تَدْعُوا عَلَى أَمْوَالِكُمْ لَا تُوَافِقُوا مِنْ اللَّهِ سَاعَةً يُسْأَلُ فِيهَا عَطَاءٌ فَيَسْتَجِيبُ لَكُمْ

“Janganlah kalian mendoakan keburukan pada diri kalian, jangan mendoakan keburukan pada anak-anak kalian, dan jangan mendoakan keburukan pada harta-harta kalian. Jangan sampai doa kalian bertepatan dengan saat dikabulkannya doa dari Allah lalu Dia akan mengabulkan doa kalian.” (HR. Muslim no. 3009)

Dari Abu Hurairah  bahwa Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:

إِذَا دَعَا أَحَدُكُمْ فَلَا يَقُلْ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي إِنْ شِئْتَ وَلَكِنْ لِيَعْزِمْ الْمَسْأَلَةَ وَلْيُعَظِّمْ الرَّغْبَةَ فَإِنَّ اللَّهَ لَا يَتَعَاظَمُهُ شَيْءٌ أَعْطَاهُ

“Jika salah seorang dari kalian berdoa maka janganlah sekali-kali dia berkata, “Ya Allah ampunilah aku jika Engkau kehendaki.” Akan tetapi hendaklah dia memastikan apa yang dia minta dan hendaknya dia memperbesar pengharapannya, karena Allah -Azza wa Jalla- sama sekali tidak pernah menganggap besar sesuatu yang Dia berikan.” (HR. Al-Bukhari no. 6339 dan Muslim no. 2678)

Penjelasan ringkas:

Dari dalil-dalil di atas kita bisa memetik beberapa perkara yang menjadi adab dalam berdoa:

1. Merendahkan suara ketika berdoa, tidak di dalam hati tapi juga tidak menjaharkannya. Karena hal itu bisa membantu dia untuk khusyu’ dan sekaligus menunjukkan ketundukan dan kerendahan dia di hadapan Allah Ta’ala.

2. Tadharru’ (merendah) kepada Allah ketika berdoa kepada-Nya.

Ad-Dhara’ah (asal kata tadharru’, pent.) bermakna menghinakan diri, tunduk, dan mengharap. Dikatakan: ضَرَعَ – يَضْرَعُ – ضَرَاعَةُ maknanya tunduk, menghinakan diri, dan merendahkan diri. Dia tadharru’ kepada Allah maksudnya dia berharap kepada-Nya. (Lihat Al-Mishbah Al-Munir hal. 361)

Allah Ta’ala berfirman, “Kemudian Kami siksa mereka dengan (menimpakan) kesengsaraan dan kemelaratan, supaya mereka memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri. Maka mengapa mereka tidak memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri ketika datang siksaan Kami kepada mereka, bahkan hati mereka telah menjadi keras, dan syaitanpun menampakkan kepada mereka kebagusan apa yang selalu mereka kerjakan.” (QS. Al-An’am: 42-42)

3. Menggunakan kalimat-kalimat yang jami’ dalam berdoa, yakni yang lafazhnya ringkas akan tetapi makna yang terkandung di dalamnya sangat dalam lagi sangat luas. Karenanya sudah sepantasnya seseorang itu berdoa dengan doa-doa yang Nabi -alaihishshalatu wassalam- pernah berdoa dengannya, karena beliaulah pemilik al-jawami’ al-kalim (kata-kata yang jami’).

4. Tidak mendoakan kejelekan untuk diri, keluarga, dan harta benda, karena mungkin saja Allah Ta’ala akan mengabulkannya.

5. Memastikan permintaannya dan tidak mengembalikannya kepada masyi`ah (kehendak) Allah, karena hal itu menunjukkan kurang perhatiannya dia kepada doanya dan dia tidak terlalu berharap kalau Allah akan mengabulkan doanya.

6. Betul-betul meminta (arab: al-ilhah) kepada Allah ketika berdoa.

Al-Ilhah maknanya mendatangi sesuatu dan komitmen berada di atasnya. Dari Anas bin Malik -radhiallahu anhu- secara marfu’, “Tetaplah kalian berdoa dengan ‘Wahai Yang Maha Mulia lagi Maha Pemurah.” (HR. At-Tirmizi no. 3773-3775 dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Shahih At-Tirmizi: 3/172)

Maka hendaknya seorang hamba memperbanyak doa dan sering mengulang-ulanginya. Dia terus-menerus meminta kepada Allah dengan mengulang-ulangi penyebutan rububiah-Nya, uluhiah-Nya, serta nama-nama dan sifat-sifatNya. Itu merupakan sebab terbesar dikabulkannya doa, sebagaimana yang Nabi -shallallahu alaihi wasallam- sebutkan, “Seseorang yang letih dalam perjalanannya, rambutnya berantakan, dan kakinya berpasir, seraya dia menengadahkan kedua tanganya ke langit dan berkata, “Wahai Rabbku, wahai Rabbku,” sampai akhir hadits (HR. Muslim no. 1015) dan hadits ini menunjukkan adanya ilhah dalam berdoa.

Berikut beberapa adab lainnya yang tidak tersebut dalam semua dalil di atas:

1. Memulai dengan memuji Allah lalu bershalawat kepada Nabi -shallallahu alaihi wasallam-, dan juga menutup doanya dengan ini.

Dari Fudhalah bin Ubaid -radhiallahu anhu- dia berkata: Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- mendengar seorang lelaki berdoa di dalam shalatnya, dia tidak memuji Allah Ta’ala dan juga tidak bershalawat kepada Nabi -shallallahu alaihi wasallam-. Maka Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- bersabda, “Orang ini tergesa-gesa,” kemudian beliau memanggil orang itu lalu beliau berkata kepadanya atau kepada selainnya, “Jika salah seorang di antara kalian berdoa maka hendaknya dia memulainya dengan memuji dan menyanjung Allah, kemudian dia bershalawat kepada Nabi -shallallahu alaihi wasallam-, kemudian setelah itu baru dia berdoa sesukanya.” (HR. Abu Daud: 2/77 no. 1481 dan At-Tirmizi: 5/516 no. 2477. Dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Abu Daud no. 1314 dan Shahih At-Tirmizi no. 2767.)

2. Senantiasa berdoa kepada Allah baik dalam keadaan lapang maupun dalam kesulitan.

Dari Abu Hurairah -radhiallahu anhu- dia berkata: Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- bersabda, “Barangsiapa yang mau doanya dikabulkan oleh Allah ketika dia mendapatkan syada`id (kesusahan) dan al-kurab (kesulitan), maka hendaknya dia memperbanyak berdoa ketika dia lapang.” (HR. At-Tirmizi no. 3382 dan Al-Hakim: 1/544. Hadits ini juga dinyatakan hasan oleh Al-Albani dalam Shahih At-Tirmiz: 3/140, dan lihat juga Al-Ahadits Ash-Shahihah no. 593)

3. Bertawassul kepada Allah Ta’ala dengan salah satu atau semua jenis-jenis tawassul yang disyariatkan, yaitu: Tawassul dengan menggunakan nama-nama dan sifat-sifat Allah, tawassul dengan amalan saleh, dan tawassul dengan perantaraan doa orang saleh yang masih hidup. Dan bukan di sini tempatnya membahas tentang tawassul.

4. Tidak memaksakan diri dalam memperindah lafazh (sajak) doa (arab: as-saja’).

Dari Ibnu Abbas beliau berkata, “Jauhilah as-saja’ dalam berdoa, karena sesungguhnya aku mendapati Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- dan para sahabatnya tidak melakukan kecuali itu -yakni: Mereka tidak melakukan kecuali menjauhi hal itu-.” (HR. Al-Bukhari no. 6337)

5. Mengulangi doa sebanyak tiga kali.

Dalil dalam masalah ini cukup banyak, di antaranya adalah ucapan Ibnu Mas’ud bahwa Nabi -alaihishshalatu wassalam- mengangkat kepalanya kemudian berdoa, “Ya Allah binasakanlah Quraisy,” sebanyak tiga kali. (HR. Al-Bukhari no. 240 dan Muslim no. 1794)

6. Menghadap ke arah kiblat.

Dari Badr bin Zaid dia berkata, “Nabi -shallallahu alaihi wasallam- pernah keluar ke lapangan ini untuk meminta hujan, maka beliau berdoa dan shalat istisqa`, kemudian beliau menghadap ke kiblat dan membalik kain yang beliau pakai.” (HR. Al-Bukhari -dan ini adalah lafazhnya- no. 6343)

7. Mengangkat kedua tangan ketika berdoa.

Dari Salman -radhiallahu anhu- dia berkata: Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- bersabda, “Sesungguhnya Rabb kalian -Tabaraka wa Ta’ala- Maha Malu lagi Maha Pemurah kepada hamba-Nya, Dia malu kepada hamba-Nya tatkala dia mengangkat kedua tangannya kepada-Nya lantas Dia mengembalikannya dalam keadaan kosong.” (HR. Abu Daud no. 1488, At-Tirmizi: 5/ 557, dan selain keduanya. Ibnu Hajar berkata, “Sanadnya jayyid,” dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Shahih At-Tirmizi: 3/179)

8. Berwudhu sebelum berdoa, jika memungkinkan.

Dalam hadits Abu Musa Al-Asy’ari  bawa Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- meminta air lalu berwudhu kemudian beliau mengangkat kedua tangannya lalu berdoa, “Ya Allah, ampunilah Ubaid Abu Amir.” (HR. Al-Bukhari: 5/101 dan Muslim: 4/1943. Lihat Al-Fath: 8/42,)

9. Menangis ketika berdoa karena takut kepada Allah Ta’ala.

10. Jika dia mendoakan orang lain maka hendaknya dia mulai dengan mendoakan dirinya sendiri.

Dari Ubay bin Ka’ab -radhiallahu anhu- dia berkata, “Jika Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- menyebut seseorang lalu mendoakannya, maka beliau mulai dengan mendoakan diri beliau sendiri.” (HR. At-Tirmizi: 5/463) Hanya saja juga telah shahih riwayat bahwa beliau -shallallahu alaihi wasallam- tidak memulai dengan diri beliau sendiri, seperti pada doa beliau untuk Anas, Ibnu Abbas, dan ibunya Ismail -radhiallahu anhum-. (Lihat: Syarh Shahih Muslim: 15/144, Fath Al-Bari: 1/218, dan Tuhfah Al-Ahwadzi Syarh Sunan At-Tirmizi: 9/328)

11. Dan tentu saja dia tidak meminta kecuali hanya kepada Allah semata.

Dari Ibnu Abbas -radhiallahu anhuma- dia berkata: Saya pernah berada di belakang Nabi -shallallahu alaihi wasallam- lalu beliau bersabda, “Wahai anak kecil, sesungguhnya saya akan mengajarkan kepadamu beberapa ucapan: Jagalah Allah niscaya Dia akan menjagamu, jagalah Allah niscaya kamu akan mendapati Dia berada di depanmu. Jika kamu meminta maka mintalah hanya kepada Allah, dan jika kamu meminta pertolongan maka mintalah pertolongan hanya kepada Allah.” (HR. At-Tirmizi: 4/667 dan Ahmad: 1/293. Dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Shahih At-Tirmizi: 2/309)

Keutamaan Berjabat Tangan Ketika Bertemu


Oleh: Ustadz ‘Abdullah Taslim, MA. -hafizhahullah-
Dari al-Bara’ bin ‘Azib dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidaklah dua orang Muslim saling bertemu kemudian berjabat tangan, kecuali akan diampuni (dosa-dosa) mereka berdua sebelum mereka berpisah.” [HR. Abu Dawud No.5212, at-Tirmidzi no. 2727, Ibnu Majah no.3703 dan Ahmad 4/289. Lihat Silsilah ash-Shahihah no.525]
Hadits yang mulia ini menunjukkan keutamaan mushafahah (berjabat tangan) ketika bertemu, dan ini merupakan perkara yang dianjurkan berdasarkan kesepakatan para Ulama[1], bahkan hukumnya adalah sunnah muakkadah (sangat ditekankan)[2].
Pengertian berjabat tangan dalam hadits ini adalah berjabat tangan dengan satu tangan, yaitu tangan kanan, dari kedua belah pihak[3]. Cara berjabat tangan seperti ini diterangkan dalam banyak hadits yang shahih. Dan inilah arti berjabat tangan secara bahasa [4]. Oleh karena itu, bila dilakukan dengan dua tangan, ini adalah cara yang menyelisihi petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam [5].
Berjabat tangan juga disunnahkan ketika berpisah, berdasarkan sebuah hadits yang dikuatkan oleh Syaikh al-Albani rahimahullah [6]. Maka pendapat yang mengatakan berjabat tangan ketika berpisah tidak disyariatkan adalah pendapat yang tidak memiliki dalil/argumentasi. Meskipun anjurannya tidak sekuat anjuran berjabat tangan ketika bertemu [7].
Karena berjabat tangan termasuk ibadah yang disyariatkan ketika bertemu dan berpisah, maka melakukannya di selain dua waktu tersebut, misalnya setelah shalat lima waktu adalah perbuatan yang menyimpang dari petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan sebagian Ulama menilainya sebagai perbuatan bid’ah. Di antara para Ulama yang melarang perbuatan tersebut adalah al-‘Izz bin ‘Abdussalam, Ibnu Hajar al-Haitami asy-Syafi’i, Quthubuddin bin ‘Ala-uddin al-Makki al Hanafi, al-Laknawi rahimahumullah dan lain-lain. [Liat nukilan ucapan mereka dalam kitab al-Qaulul Mubin fi Akhthail Mushallin hal.294-296]
Adapun berjabat tangan setelah shalat bagi dua orang yang baru bertemu, maka ini dianjurkan karena niat keduanya adalah berjabat tangan karena bertemu, bukan karena shalat. Hal ini disampaikan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah ash-Shahihah (1/53)
Bagaimana hokum mencium tangan seorang guru/ustadz ketika bertemu dengannya? Ini diperbolehkan, berdasarkan beberapa hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan perbuatan para Ulama Salaf. Namun harus disertai beberapa syarat yang harus terpenuhi, yaitu:
1. Tidak menjadikan hal ini sebagai kebiasaan , karena para Sahabat radhiyallahu ‘anhum sendiri tidak sering melakukannya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Terlebih lagi, jika hal itu dilakukan dengan tujuan mencari berkah dengan mencium tangan sang guru (jelas ini tidak boleh, red)
2. Perbuatan itu tidak membuat sang guru menjadi sombong dan merasa dirinya besar dihadapan orang lain, seperti yang sering terjadi saat ini.
3. Jangan sampai hal itu menjadikan kita meninggalkan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lebih utama dan lebih dianjurkan ketika bertemu, yaitu berjabat tangan, sebagaimana telah dipaparkan di atas [8]
Note:
[1] Lihat Fathul Bari 11/55 dan Syarh Shahih Muslim 17/101
[2] Lihat Faidhul Qadir 5/499
[3] Lihat Tuhfatul Ahwadzi 7/429 dan ‘Aunul Ma’bud 14/80
[4] Lihat Lisanul ‘Arab” 2/512
[5] Lihat kitab Silsilah ash-Shahihah 1/51-52
[6] Dalam Silsilah ash-Shahihah 1/48
[7] Ibid 1/52-53
[8] Lihat Silsilah ash-Shahihah 1/302

Sumber: Disalin ulang dari Majalah as Sunnah Edisi 12/Thn XIII/Rabi’ul Awwal 1431H/Maret 2010M Rubrik Baituna Hal.8

Dipublikasikan kembali oleh : Al Qiyamah – Moslem Weblog

Kamis, 17 Juni 2010

Golongan Selamat Tidak Pernah Berselisih?

Oleh: al-Ustadz Muhammad Nurhuda, Lc. MA

Pertanyaan:

Assalamu’alaikum warahmatullah,

Saya ingin bertanya tentang karakteristik golongan selamat. Apa ciri khasnya? Bila ada ciri yang kurang pada seseorang apakah akan mengeluarkannya dari golongan selamat? Apakah betul golongan selamat tidak pernah berselisih? Terima kasih.

Wassalamu’alaikum warahmatullah,

Ahmad, Sukoharjo.

Jawaban:

Pertanyaan ini biarlah dijawab oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al- Utsaimin (semoga Allah merahmatinya). Berikut jawabannya:

“Golongan selamat punya sifat selalu berpegang dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik dalam akidah, ibadah, akhlak, maupun mu’amalah. Dalam empat hal ini ciri mereka tampak jelas. Akidah mereka didasarkan pada al-Kitab dan as-Sunnah yaitu dengan mengamalkan tauhid yang lurus dalam tauhid ibadah, rubbubiyyah, maupun asma’ (nama) dan sifat. Dalam ibadah mereka berpegang secara sempurna dan melaksanakannya sesuai tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik jenis, sifat, jumlah, waktu, tempat, maupun sebabnya. Mereka dalam beragama tidak melakukan bid’ah. Terhadap Allah dan rasul-Nya mereka beradab dengan sebaik-sebaiknya, tidak berlaku lancang dengan memasukkan praktik ibadah yang tidak diizinkan-Nya.

Mereka mempunyai kelebihan dalam akhlak yang mulia, seperti menginginkan kebaikan bagi saudaranya sesama Muslim, lapang dada, wajah cerah, santun dalam berbicara, dermawan, keberanian dan akhlak-akhlak yang mulia lainnya. Mereka bermu’amalah dengan jujur dan terus-terang, sebagaimana disyaratkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam haditsnya (yang artinya):

Dalam jual beli ada hak khiyar (memilih) selama keduanya (penjual dan pembeli) belum berpisah, kalau keduanya jujur dan terus-terang akan diberkahi dan sebaliknya apabila berdusta dan menyembunyikan cacat akan dihapus barakah dalam transaksi mereka berdua.1

Kekurangan yang kadang didapati dalam diri seseorang tidak mesti mengeluarkan seseorang dari golongan yang selamat. Tentunya perlu dirinci sesuai tingkatan perbuatan mereka. Kekurangan pada sisi tauhid terkadang bisa mengeluarkan dari golongan yang selamat, seperti keikhlasan yang ternodai syirik. Bid’ah pun kadang bisa mengeluarkan pelakunya dari golongan selamat.

Sementara terkait dengan akhlak dan mu’amalah hanya mengurangi keutamaannya, tidak mengeluarkannya. Terkadang perlu juga menjelaskan akhlak secara detil, karena akhlak yang paling penting adalah kesatuan kalimat dan sepakat diatas kebenaran sebagaimana yang Allah wasiatkan dalam firman-Nya (yang artinya):

Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa, yaitu; ‘Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah-belah tentangnya.’” (QS. as-Syura : 13)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas diri dari perbuatan yang memecah-belah agama. Satunya hati merupakan kekhususan yang paling tampak pada golongan selamat, Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah. Bila terjadi perbedaan dalam masalah ijtihadiyah, mereka tidak saling hasad, benci, apalagi bermusuhan. Golongan selamat tetap menjaga persaudaraan walau berbeda pendapat. Bahkan mereka tetap mau shalat di belakang imam yang dianggap “tidak wudhu.” Misalnya, perbedaan dalam masalah hukum akibat makan daging onta. Sebagian orang berpendapat (bahwa seseorang yang) makan daging onta mengharuskan wudhu ulang ketika mau shalat. Sementara ada orang yang biasa jadi imam mengikuti pendapat bahwa makan daging onta tidak membatalkan wudhu. Dalam praktiknya mereka mau shalat di belakang imam tersebut, meskipun kalau shalat sendirian beranggapan tidak sah shalatnya.

Kasus ini terjadi karena mereka menyadari perbedaan itu muncul terkait dengan masalah ijtihad. Jadi hakikatnya bukan perbedaan antara mengikuti dalil dan berpaling dari dalil. Orang-orang ini ketika melihat ada yang menyelisihinya dalam suatu masalah, pada hakikatnya bersepakat, karena dia berjalan sesuai dengan ijtihad yang diyakininya, dan menjadikan al-Quran dan as-Sunnah sebagai hukum utama. Telah masyhur di masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun terjadi perbedaan di antara para sahabat dalam perkara semacam itu. Misalnya, saat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali dari perang Ahzab, malaikat Jibril memberi isyarat kepada beliau untuk pergi ke kampung Bani Quraidhah. Hal ini disebabkan kaum Yahudi tersebut telah mengkhianati perjanjian, Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada para sahabatnya (yang artinya);

Jangan ada seorang pun yang shalat Ashar kecuali di kampung Bani Quraidhah.2

Ketika telah masuk waktu shalat (maka) sebagian segera shalat. ‘Maksud Rasulullah adalah agar segera sampai (di kampung Bani Quraidhah), bukannya mengakhirkan shalat.’ Sementara sebagian lain tidak shalat hingga sampai di perkampungan Bani Quraidhah. Dalam hal ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bersikap keras terhadap salah satu pihak. Mereka juga tidak saling bermusuhan karena perbedaan dalam memahami perintah tersebut.

Oleh karena itu aku memandang kaum Muslimin yang menisbatkan dirinya kepada as-Sunnah wajib menjadi umat yang satu. Jangan sampai mereka bergolong-golongan, yang ini punya kelompok tertentu, demikian juga yang lain. Apalagi diikuti dengan sikap saling menjauhi, membenci dan memusuhi hanya dikarenakan masalah yang boleh melibatkan ijtihad. Tidak perlu saya sebutkan kelompok-kelompok tersebut, orang yang berakal akan dapat memahami- nya, semoga dimudahkan urusannya.

Aku berpandangan Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah wajib bersatu, walaupun berbeda pendapat tentang suatu masalah seperti ditunjukkan dalil sesuai pemahaman yang ada. Alhamdulillah masalah ini adalah sesuatu yang lapang. Yang paling penting adalah bersatunya kalimat dan hati, yang jelas musuh-musuh Islam akan senang kalau kaum Muslimin bercerai-berai. Baik itu musuh yang menampakkan permusuhannya atau musuh yang kelihatan bersahabat. Menjadi kewajiban Ahlus-Sunnah untuk mempunyai karakteristik sebagaimana tersebut di atas, kemudian bersatu di atas kalimat yang sama.” (Majmu’ah al-Fatawa juz 1, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin).

(Dijawab oleh al-Ustadz Muhammad Nurhuda, Lc. MA)

Catatan Kaki:

  1. ^ Shahih al-Bukhari (2/733).
  2. ^ Shahih al-Bukhari, Kitab al-Maghazi (4119).
http://ahlussunnah.info/2009/12/23/artikel-ke-22-golongan-selamat-tidak-pernah-berselisih/

Cara Memahami Islam dengan Benar

Oleh: Pengasuh Buletin an-Nur Yayasan al-Sofwa

Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah menjadikan kita sebagai manusia yang terlahir dan besar dalam keadaan Islam. Ini merupakan nikmat terbesar yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan hanya pada orang-orang yang Dia kehendaki. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (yang artinya):

Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS. al-Maidah : 3)

Ibnu Katsir rahimahullah dalam mengomentari ayat ini mengatakan, bahwa ini (Islam) adalah nikmat terbesar Allah Subhanahu wa Ta’ala atas umat ini, yang mana Allah telah menyempurnakan agama ini bagi mereka. Maka mereka tidak lagi membutuhkan kepada agama selain Islam dan kepada Nabi selain Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Oleh karena itu, Allah telah menjadikan Muhammad Subhanahu wa Ta’ala sebagai penutup para Nabi dan mengutus Beliau kepada manusia dan jin. Maka tidak ada lagi penghalalan kecuali apa-apa yang telah Beliau halalkan dan tidak ada lagi pengharaman kecuali atas apa-apa yang telah Beliau haramkan dan tidak ada yang merupakan bagian dari agama kecuali dengan apa-apa yang telah Beliau syari’atkan. Semua yang Beliau sampaikan adalah benar dan tidak ada kedustaan di dalamnya sedikit pun.

Dengan ayat ini pula Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyempurnakan iman orang mukmin sehingga mereka tidak lagi membutuhkan penambahan ataupun pengurangan terhadap syari’at agama ini selamanya. Kalau hal ini benar-benar dipegang oleh seorang Muslim, niscaya tidak akan muncul berbagai bid’ah (sesuatu yang diada-adakan yang tidak ada asalnya dari al-Qur’an dan as-Sunnah) dan perpecahan dalam agama ini yang mengakibatkan kita memahami Islam tidak seperti yang dikehendaki Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Selanjutnya akan muncul pertanyaan, bagaimana manhaj (metode) dalam mempelajari, memahami dan mengamalkan Islam secara benar? Jawabannya adalah jika manhaj (metode) yang kita tempuh sesuai dengan hal-hal yang akan diterangkan berikut ini:

  1. Kitabullah/al-Qur’anul-Karim
    Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (yang artinya):“Dan al-Qur’an itu adalah kitab yang Kami turunkan yang diberkahi, maka ikutilah dia dan bertakwalah agar kamu diberi rahmat.” (QS. al-An’am : 155)

    Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya):

    Sesungguhnya aku tinggalkan bagimu dua perkara, salah satunya ialah Kitabullah (al-Qur’an) yang merupakan tali Allah. Barangsiapa mengikutinya maka ia berada di atas hidayah dan barangsiapa yang meninggalkannya berarti ia dalam kesesatan.” (HR. Muslim)

  2. as-Sunnah yang Shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
    Tidak bisa dipungkiri bahwa dalam memahami dan mengamalkan kandungan al-Qur’an kita memerlukan as-Sunnah yang berisi penjelasan terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang masih bersifat global. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya):“Dan Kami telah menurunkan kepadamu adz-Dzikr (al-Qur’an), agar kamu (Muhammad) menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan agar mereka memikirkannya.” (QS. an-Nahl : 44)

    Pada hakikatnya segala sesuatu yang diucapkan oleh Rasulullah juga merupakan wahyu dari Allah sehingga wajib bagi kita untuk mentaati segala perintah beliau dan menjauhi segala larangannya. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (yang artinya):

    Mentaati Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berarti mentaati Allah Subhanahu wa Ta’ala. Firman-Nya menyebutkan (yang artinya):

    Barangsiapa yang mentaati Rasul maka sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak akan mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.” (QS. an-Nisa’ : 80)

    Firman-Nya yang lain (yang artinya):

    Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” (QS. al-Hasyr : 7)

  3. Atsar (Jejak) Para Sahabat
    Para sahabat adalah orang-orang yang mendapat didikan langsung dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka yang lebih tahu tentang sebab-sebab turunnya ayat, kepada siapa ayat itu ditujukan dan bagaimana tafsiran dari ayat tersebut. Tidak heran bila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menobatkan mereka sebagai generasi terbaik sebagaimana sabda beliau:“Sebaik-baik manusia adalah generasiku (para sahabatku)…” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

    Allah Subhanahu wa Ta’ala juga telah memberikan keridhaan-Nya kepada mereka, sebagaimana firman-Nya (yang artinya):

    Orang-orang yang dahulu lagi pertama-tama masuk Islam dari kalangan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, maka Allah ridha pada mereka dan mereka pun ridha pada Allah, dan Allah janjikan bagi mereka Surga-surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. at-Taubah: 100)

    Jika Subhanahu wa Ta’ala Allah sudah ridha pada mereka, pasti mereka adalah orang-orang yang benar dan selamat. Maka jika kita ingin selamat, kita juga harus mengikuti mereka dalam setiap sisi kehidupan kita, baik dalam hal akidah, akhlak, ibadah maupun muamalah. Sebagaimana keselamatan ini juga dijamin oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya (yang artinya):

    Umatku akan berpecah menjadi 73 golongan. Semuanya di Neraka kecuali satu. Mereka (para sahabat) bertanya: ‘Siapa satu golongan yang selamat itu wahai Rasulullah?’ Jawab beliau: ‘Siapa saja yang seperti keadaanku dan para sahabatku pada hari ini.’” (Jami’ul-Ushul fi Ahadits ar-Rasul. Diriwayatkan Imam Ahmad, at-Tirmidzi dan lainnya, al-Hafizh menggolongkannya hadits hasan)

    Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memerintahkan (yang artinya):

    Dan barangsiapa yang hidup diantara kalian sepeninggalku, maka ia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib bagi kalian untuk berpegang teguh dengan Sunnahku dan Sunnah Khulafaur-Rasyidin setelahku. Peganglah erat-erat dan gigitlah ia dengan gigi-gigi gerahammu.” (Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah)

  4. Atsar (Jejak) Para Tabi’in dan Tabi’ut-Tabi’in
    Tabi’in adalah murid para Sahabat, sedangkan tabiu’t-tabi’in adalah murid para tabi’in. Mereka ini bersama Sahabat dikatakan sebagai tiga generasi terbaik. Sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya):“Sebaik-baik manusia adalah generasiku (sahabatku), kemudian yang datang setelah mereka (tabi’in), kemudian yang datang setelah mereka (tabi’ut-tabi’in).” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Dari apa yang telah diuraikan secara ringkas tadi, akhirnya kita mendapat jawaban sekaligus solusi dari pertanyaan: “Kenapa dalam Islam terdapat banyak golongan atau paham yang masing-masing mereka mengaku berpedoman pada al-Qur’an dan as-Sunnah?

Jawabannya adalah: “Karena masing-masing golongan memahami al-Qur’an dan as-Sunnah dengan hawa nafsu atau logika atau perasaannya sendiri-sendiri. Dan solusi dari semua ini adalah mengembalikan lagi pemahaman Islam kita pada apa-apa yang pernah dipahami oleh Salafush-Shalih, yaitu tiga generasi pertama dari umat ini sebagaimana yang tersebut pada hadits di atas (yaitu Sahabat, Tabi’in dan Tabiut-Tabi’in).

Semoga Allah senantiasa memudahkan langkah kita untuk selalu berjalan diatas jalan mereka. Amin. (Soraya).

Kategori: Buletin an-Nur Yayasan al-Sofwa, Manhaj as-Salafush-Shalih
Sumber: Artikel ini disalin dari Buletin an-Nur yang dikeluarkan oleh Yayasan al-Sofwa, Jl. Raya Lenteng Agung Barat No.35, Jakarta Selatan, Indonesia 12810. Telp.: +62-21-78836327. Faks: +62-21-78836326. E-Mail: info [at] alsofwah.or.id. Website: www.alsofwah.or.id.

http://ahlussunnah.info/2009/12/26/artikel-ke-26-cara-memahami-islam-dengan-benar/

Mengapa Harus Salafi?


Oleh: Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani

Pertanyaan:

Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah ditanya; “Mengapa perlu menamakan diri dengan Salafiyah, apakah itu termasuk dakwah Hizbiyyah, golongan, madzhab atau kelompok baru dalam Islam?”

Jawaban:

Sesungguhnya kata “as-Salaf” sudah lazim dalam terminologi bahasa Arab maupun syari’at Islam. Adapun yang menjadi bahasan kita kali ini adalah aspek syari’atnya. Dalam riwayat yang shahih, ketika menjelang wafat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Sayidah Fatimah radhiyallahu ‘anha (yang artinya):

“Bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah, sebaik-baik ‘as-Salaf’ bagimu adalah Aku.”

Dalam kenyataannya di kalangan para Ulama sering menggunakan istilah “as-Salaf.” Satu contoh penggunaan “as-Salaf” yang biasa mereka pakai dalam bentuk syair untuk menumpas bid’ah:

“Dan setiap kebaikan itu terdapat dalam mengikuti orang-orang Salaf.”

“Dan setiap kejelekan itu terdapat dalam perkara baru yang diada-adakan orang Khalaf.”

Namun ada sebagian orang yang mengaku berilmu, mengingkari nisbat (penyandaran diri) pada istilah Salaf karena mereka menyangka bahwa hal tersebut tidak ada asalnya. Mereka berkata; “Seorang Muslim tidak boleh mengatakan; ‘Saya seorang Salafi.’” Secara tidak langsung mereka beranggapan bahwa seorang Muslim tidak boleh mengikuti Salafush-Shalih baik dalam hal aqidah, ibadah ataupun akhlak.

Tidak diragukan lagi bahwa pengingkaran mereka ini, (kalau begitu maksudnya) membawa konsekuensi untuk berlepas diri dari Islam yang benar yang dipegang para Salafush-Shalih yang dipimpin Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya):

“Sebaik-baik generasi adalah generasiku, kemudian sesudahnya, kemudian sesudahnya.” (Hadits shahih riwayat Bukhari, Muslim)

Maka tidak boleh seorang Muslim berlepas diri (bara’) dari penyandaran kepada Salafush-Shalih. Sedangkan kalau seorang Muslim melepaskan diri dari penyandaran apapun selain Salafush-Shalih, tidak akan mungkin seorang ahli ilmu pun me-nisbat-kannya kepada kekafiran atau kefasikan.

Orang yang mengingkari istilah ini, bukankah dia juga menyandarkan diri pada suatu madzhab, baik secara akidah atau fikih? Bisa jadi ia seorang Asy’ari, Maturidi, Ahli Hadits, Hanafi, Syafi’i, Maliki atau Hambali semata yang masih masuk dalam sebutan Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah.

Padahal orang-orang yang bersandar kepada madzhab Asy’ari dan pengikut madzhab yang empat adalah bersandar kepada pribadi-pribadi yang tidak maksum. Walau ada juga ulama di kalangan mereka yang benar. Mengapa pe-nisbat-an-pe-nisbat-an kepada pribadi-pribadi yang tidak maksum ini tidak diingkari?

Adapun orang yang ber-intisab kepada Salafush-Shalih, dia menyandarkan diri kepada ishmah (ke-maksum-an/terjaga dari kesalahan) secara umum. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mendiskripsikan tanda-tanda Firqah Najiyah1 yaitu komitmennya dalam memegang Sunnah Nabi dan para Sahabatnya. Dengan demikian siapa yang berpegang dengan manhaj Salafus-Shalih maka yakinlah dia berada (di)atas petunjuk Allah ‘Azza wa Jalla.

Salafiyah merupakan predikat yang akan memuliakan dan memudahkan jalan menuju “Firqah Najiyah.” Dan hal itu tidak akan didapatkan bagi orang yang me-nisbat-kan kepada nisbat apapun selainnya. Sebab nisbat kepada selain Salafiyah tidak akan terlepas dari dua perkara:

Pertama:

Me-nisbat-kan diri kepada pribadi yang tidak maksum.

Kedua:

Me-nisbat-kan diri kepada orang-orang yang mengikuti manhaj pribadi yang tidak maksum.

Jadi tidak terjaga dari kesalahan, dan ini berbeda dengan ishmah para Shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang mana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan supaya kita berpegang teguh terhadap Sunnahnya dan Sunnah para Sahabat setelahnya.

Kita tetap terus dan senantiasa menyerukan agar pemahaman kita terhadap al-Kitab dan as-Sunnah selaras dengan manhaj para Sahabat, sehingga tetap dalam naungan ishmah (terjaga dari kesalahan) dan tidak melenceng maupun menyimpang dengan pemahaman tertentu yang tanpa pondasi dari al-Kitab dan as-Sunnah.

Mengapa sandaran terhadap al-Kitab dan as-Sunnah belum cukup?

Sebabnya kembali kepada dua hal, yaitu hubungannya dengan dalil syar’i dan fenomena Jama’ah Islamiyah yang ada.

Berkenaan dengan sebab pertama:

Kita dapati dalam nash-nash yang berupa perintah untuk menta’ati hal lain disamping al-Kitab dan as-Sunnah sebagaimana dalam firman Allah ‘Azza wa Jalla (yang artinya):

“Dan taatilah Allah, taatilah Rasul dan Ulil-Amri diantara kalian.” (QS. an-Nisa’ [4] : 59]

Jika ada Waliyul-Amri yang dibai’at kaum Muslimin maka menjadi wajib ditaati seperti keharusan taat terhadap al-Kitab dan as-Sunnah. Walau terkadang muncul kesalahan dari dirinya dan bawahannya. Taat kepadanya tetap wajib untuk menepis akibat buruk dari perbedaan pendapat dengan menjunjung tinggi syarat yang sudah dikenal yaitu:

“Tidak ada ketaatan kepada mahluk di dalam bemaksiat kepada al-Khalik.” (Lihat as-Shahihah nomor 179)

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang Mukmin, Kami biarkan mereka berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan Kami masukkan dia ke dalam Jahannam dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. an-Nisa’ [4] : 115)

Allah Maha Tinggi dan jauh dari main-main. Tidak disangkal lagi, penyebutan “sabilil-mukminin” (jalan kaum mukminin) pasti mengandung hikmah dan manfaat yang besar. Ayat itu membuktikan adanya kewajiban penting yaitu agar ittiba’ kita terhadap al-Kitab dan as-Sunnah harus sesuai dengan pemahaman generasi Islam yang pertama (generasi Sahabat). Inilah yang diserukan dan ditekankan oleh dakwah Salafiyah di dalam inti dakwah dan manhaj tarbiyah-nya.

Sesungguhnya dakwah Salafiyah benar-benar akan menyatukan umat. Sedangkan dakwah lainnya hanya akan mencabik-cabiknya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya):

“Dan hendaklah kamu bersama-sama orang-orang yang benar.” (QS. at-Taubah [9] : 119)

Siapa saja yang memisahkan antara al-Kitab dan as-Sunnah dengan as-Salafush-Shalih bukanlah seorang yang benar selama-lamanya.

Adapun berkenaan dengan sebab kedua:

Bahwa kelompok-kelompok dan golongan-golongan (umat Islam) sekarang ini sama sekali tidak memperhatikan untuk mengikuti jalan kaum Mukminin yang telah disinggung ayat diatas dan dipertegas oleh beberapa hadits.

Diantaranya hadits tentang firqah yang berjumlah tujuh puluh tiga golongan, semua masuk neraka kecuali satu. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam mendeskripsikannya sebagai:

“Dia (golongan itu) adalah yang berada di atas pijakanku dan para Sahabatku hari ini.”

Hadits ini senada dengan ayat yang menyitir tentang jalan kaum Mukminin. Diantara hadits yang juga senada maknanya adalah, hadits Irbadl bin Sariyah, yang di dalamnya memuat:

“Pegangilah Sunnahku dan Sunnah Khulafa’ir-Rasyidin sepeninggalku.”

Jadi disana ada dua Sunnah yang harus diikuti: Sunnah Rasul dan Sunnah Khulafa’ur-Rasyidin.

Menjadi keharusan atas kita -generasi muta’akhirin- untuk merujuk kepada al-Kitab dan as-Sunnah dan jalan kaum Mukminin. Kita tidak boleh berkata; “Kami mandiri dalam memahami al-Kitab dan as-Sunnah tanpa petunjuk Salaf as-Shalih.”

Demikian juga kita harus memiliki nama yang membedakan antara yang haq dan bathil di jaman ini. Belum cukup kalau kita hanya mengucapkan; “Saya seorang Muslim (saja) atau bermadzhab Islam.” Sebab semua firqah juga mengaku demikian baik Syi’ah, Ibadhiyyah (salah satu firqah dalam Khawarij), Ahmadiyyah dan yang lain. Apa yang membedakan kita dengan mereka?

Kalau kita berkata; “Saya seorang Muslim yang memegangi al-Kitab dan as-Sunnah,” ini juga belum memadai. Karena firqah-firqah sesat juga mengklaim ittiba’ terhadap keduanya.

Tidak syak lagi, nama yang jelas, terang dan membedakan dari kelompok sempalan adalah ungkapan; “Saya seorang Muslim yang konsisten dengan al-Kitab dan as-Sunnah serta bermanhaj Salaf,” atau disingkat; “Saya Salafi.”

Kita harus yakin, bersandar kepada al-Kitab dan as-Sunnah saja, tanpa manhaj Salaf yang berperan sebagai penjelas dalam masalah metode pemahaman, pemikiran, ilmu, amal, dakwah, dan jihad, belumlah cukup.

Kita paham para Sahabat tidak ber-ta’ashub terhadap madzhab atau individu tertentu. Tidak ada dari mereka yang disebut-sebut sebagai Bakri, Umari, ‘Utsmani atau ‘Alawi (pengikut Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali). Bahkan bila seorang diantara mereka bisa bertanya kepada Abu Bakar, Umar atau Abu Hurairah maka bertanyalah ia. Sebab mereka meyakini bahwa tidak boleh memurnikan ittiba’ kecuali kepada satu orang saja yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang tidak berkata dengan kemauan nafsunya, ucapannya tiada lain wahyu yang diwahyukan.

Taruhlah misalnya kita terima bantahan para pengkritik itu, yaitu kita hanya menyebut diri sebagai Muslimin saja tanpa penyandaran kepada manhaj Salaf; padahal manhaj Salaf merupakan nisbat yang mulia dan benar. Lalu apakah mereka (pengkritik) akan terbebas dari penamaan diri dengan nama-nama golongan madzhab atau nama-nama tarekat mereka? Padahal sebutan itu tidak syar’i dan salah!?

Allah adalah Dzat Maha pemberi petunjuk menuju jalan (yang) lurus. Wallahu al-Musta’in.

Demikianlah jawaban kami. Istilah Salaf bukan menunjukkan sikap fanatik atau ta’ashub pada kelompok tertentu, tetapi menunjukkan pada komitmennya untuk mengikuti manhaj Salafush-Shalih dalam memahami al-Qur’an dan as-Sunnah.

Wallahu Waliyyut-Taufiq.

Catatan Kaki:

1. ^ Golongan yang selamat.

Tag: al-Firqah an-Najiyah, ishmah, ittiba', khalaf, madzhab, maksum, salaf, Salafi, Salafiyah, ta'ashub (fanatik)
Kategori: Majalah as-Sunnah, Manhaj as-Salafush-Shalih, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani
Sumber: Artikel ini disalin dari majalah al-Ashalah edisi 9/Th. II/15 Sya'ban 1414 H, majalah as-Sunnah Edisi 09/Th. III/1419 H-1999 M.

sources : http://ahlussunnah.info/2010/01/13/artikel-ke-38-mengapa-harus-salafi/

Artikel ke-53, Siapakah Ahlus-Sunnah Sejati?

Telah menjadi suatu kepastian bahwa umat ini akan berpecah-belah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Tidak ada yang selamat dari neraka kecuali hanya satu saja. Yaitu yang konsisten memegang wasiat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sepeninggal Beliau. Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah, satu-satunya golongan yang selamat dari fitnah perpecahan tersebut. Namun sayang nama ini makin kabur hakikatnya dengan berjalannya waktu. Banyak orang yang mengklaim (mengaku) bahwa dirinyalah Ahlus-Sunnah sejati, tetapi klaim hanyalah bualan semata bila tak ada bukti yang mendukungnya, ibarat perkataan seorang penyair: “Setiap orang mengaku punya hubungan cinta dengan Laila. Tetapi sayang, Laila menyangkal mereka semua.”

sources : http://ahlussunnah.info/kategori/aqidah-dan-manhaj/manhaj-as-salafush-shalih/